Pada tanggal 23 Oktober tahun 1964, dunia intelektual diguncang oleh keputusan yang tidak biasa dari seorang filsuf dan penulis asal Prancis, Jean-Paul Sartre. Ia menolak menerima Hadiah Nobel dalam bidang Sastra, sebuah penghargaan yang diidam-idamkan oleh banyak penulis dan pemikir di seluruh dunia. Keputusan ini memicu kontroversi dan membuat banyak orang bertanya-tanya, mengapa Sartre, seorang pemikir eksistensialis terkemuka, menolak penghargaan bergengsi tersebut?
Latar Belakang Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf, penulis, dan aktivis politik yang sangat terkenal di abad ke-20. Lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Sartre adalah salah satu tokoh utama dalam filsafat eksistensialisme.
Eksistensialisme Sartre berfokus pada konsep kebebasan individu dan tanggung jawab moral yang dihadapi setiap individu dalam kehidupan mereka.
Karyanya tidak hanya mencakup filsafat tetapi juga sastra, drama, dan kritik sosial. Beberapa karyanya yang terkenal meliputi Being and Nothingness (L’Être et le Néant), Nausea (La Nausée), dan drama No Exit (Huis Clos).
Sartre juga dikenal sebagai seorang aktivis politik yang terlibat dalam berbagai gerakan sosial dan politik, termasuk anti-kolonialisme dan marxisme. Pandangan politiknya sangat mempengaruhi keputusannya dalam banyak hal, termasuk dalam menolak Hadiah Nobel pada tahun 1964.
Hadiah Nobel Sastra 1964
Pada 22 Oktober 1964, Akademi Swedia mengumumkan bahwa Jean-Paul Sartre dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Sastra karena “karyanya yang kaya ide dan penuh dengan semangat kebebasan dan pencarian kebenaran.”
Penghargaan ini seharusnya menjadi puncak dari pengakuan global terhadap kontribusi intelektual dan sastra Sartre. Namun, keputusan Sartre untuk menolaknya menggemparkan banyak orang. Penolakan ini tidak hanya langka, tetapi juga menantang nilai-nilai yang biasanya diasosiasikan dengan penghargaan tersebut.
Mengapa Sartre mengambil keputusan yang begitu radikal?
Alasan Sartre Menolak Hadiah Nobel
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan kepada publik, Sartre menjelaskan alasan-alasan utamanya menolak Hadiah Nobel. Ada dua alasan utama yang melatarbelakangi keputusannya: pandangan pribadinya tentang penghargaan dan politik.
1. Pandangan Pribadi Tentang Penghargaan
Sartre secara konsisten menolak penghargaan sepanjang hidupnya. Ia percaya bahwa setiap individu harus dihargai berdasarkan karyanya, bukan atas dasar pengakuan institusi atau penghargaan eksternal. Dalam hal ini, ia menolak menjadi “dijadikan institusi” melalui Hadiah Nobel.
Sartre merasa bahwa menerima penghargaan seperti ini akan membatasi kebebasannya sebagai seorang intelektual dan penulis. Ia menganggap bahwa seorang penulis harus tetap independen, tidak terikat oleh pengakuan yang diberikan oleh kelompok atau lembaga tertentu.
Sejak awal kariernya, Sartre selalu menolak penghargaan formal, termasuk Légion d’Honneur yang diberikan pemerintah Prancis. Baginya, penghargaan semacam ini berpotensi mempolitisasi karya penulis dan mengurangi nilai dari kebebasan intelektual yang ia pegang teguh.
2. Pertimbangan Politik
Alasan lain yang lebih kompleks adalah pandangan politik Sartre. Pada 1960-an, Sartre terlibat dalam berbagai gerakan politik, terutama yang berkaitan dengan marxisme, anti-kolonialisme, dan perjuangan kelas. Ia mengkritik kebijakan-kebijakan barat dan peran institusi-institusi tertentu dalam menyokong imperialisme dan ketidakadilan global.
Sartre melihat Hadiah Nobel sebagai simbol dari kekuatan institusi-institusi barat, dan ia khawatir bahwa penerimaan penghargaan tersebut dapat dianggap sebagai pengesahan terhadap nilai-nilai yang diwakili oleh Barat.
Sartre juga tidak ingin karyanya disalahgunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu yang dapat memanfaatkannya untuk tujuan mereka sendiri. Dengan menolak penghargaan ini, ia menegaskan posisinya sebagai penulis yang bebas dari pengaruh politik.
Konsekuensi dari Penolakan
Penolakan Sartre terhadap Hadiah Nobel menimbulkan beragam reaksi di seluruh dunia. Bagi banyak orang, tindakannya dianggap sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang ia anut sebagai seorang eksistensialis.
Sartre menekankan kebebasan individu di atas segalanya, dan keputusannya untuk menolak Hadiah Nobel dianggap sebagai bukti dari komitmennya terhadap kebebasan dan integritas intelektual.
Namun, tidak semua orang memandang penolakan ini dengan positif. Beberapa kritikus berpendapat bahwa keputusan Sartre itu berlebihan dan terlalu politis.
Mereka merasa bahwa dengan menolak penghargaan, Sartre sebenarnya kehilangan kesempatan untuk mempromosikan pesan dan karya-karyanya kepada audiens yang lebih luas.
Hadiah Nobel memiliki kemampuan untuk memberikan perhatian global terhadap karya penulis, dan dengan menolaknya, Sartre dianggap telah melewatkan kesempatan untuk menyebarkan gagasan-gagasannya secara lebih efektif.
Signifikansi dalam Sejarah
Keputusan Sartre untuk menolak Hadiah Nobel tidak hanya berpengaruh pada reputasi pribadinya, tetapi juga mencerminkan dinamika intelektual dan politik pada masa itu.
Pada 1960-an, dunia sedang mengalami pergolakan sosial dan politik yang besar, terutama terkait dengan Perang Dingin, gerakan dekolonisasi, dan ketidaksetaraan global.
Banyak intelektual dan seniman pada masa itu terlibat dalam perdebatan tentang peran mereka dalam masyarakat, dan keputusan Sartre dianggap sebagai contoh ekstrem dari posisi seorang intelektual yang ingin menjaga independensi dari pengaruh-pengaruh eksternal.
Penolakan ini juga memicu perdebatan lebih luas tentang peran penghargaan dalam dunia sastra dan seni. Apakah penghargaan semacam Hadiah Nobel benar-benar mewakili nilai artistik yang sejati? Atau, apakah penghargaan ini justru memperkuat struktur kekuasaan yang ada dan membatasi kebebasan kreatif para seniman dan penulis? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap relevan dalam dunia sastra dan seni hingga saat ini.
Baca juga: 22 Oktober 1797 Orang Pertama Terjun Payung
Keputusan Jean-Paul Sartre untuk menolak Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1964 merupakan tindakan yang langka dan signifikan dalam sejarah intelektual dan politik abad ke-20.
Alasan-alasannya yang didasarkan pada prinsip-prinsip pribadi dan politik menyoroti betapa Sartre sangat menghargai kebebasan dan independensi intelektualnya.
Meskipun keputusan ini menuai beragam reaksi, baik positif maupun negatif, penolakan ini tetap menjadi bagian penting dari warisan Sartre sebagai salah satu filsuf dan penulis paling berpengaruh di abad ke-20.
Melalui tindakannya, Sartre mengajarkan kepada dunia tentang arti kebebasan individu yang sejati, dan bagaimana seorang intelektual harus menjaga integritas moralnya di hadapan godaan pengakuan dan penghargaan dari institusi-institusi besar. Bagi para pelajar sejarah, peristiwa ini menjadi refleksi mendalam tentang hubungan antara seni, intelektual, dan kekuasaan.