Sejarah Kelam 13 Juni 1950: Afrika Selatan Menerapkan Group Areas Act

Afrika Selatan Menerapkan Group Areas Act

domestik.co.id – Pada 13 Juni 1950, pemerintah Afrika Selatan secara resmi memberlakukan sebuah undang-undang yang kemudian dikenal sebagai Group Areas Act.

Undang-undang ini menjadi salah satu pilar utama dalam struktur apartheid sistem politik dan sosial yang secara sistematis mendiskriminasi penduduk non-kulit putih di negara tersebut.

Bacaan Lainnya

Keputusan legislatif ini menandai awal dari era baru pemisahan rasial yang dilegalkan dan diregulasi oleh negara.

Group Areas Act atau Undang-Undang Wilayah Kelompok bertujuan untuk menetapkan zona-zona tempat tinggal berdasarkan ras.

Hal ini berarti setiap kelompok rasial terutama kulit putih, kulit berwarna (coloured), India, dan Afrika (kulit hitam) hanya diperbolehkan tinggal di area yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Konsekuensinya, jutaan warga dipaksa meninggalkan rumah mereka yang telah mereka tempati selama beberapa generasi.

Latar Belakang Penerapan Group Areas Act

Pada masa setelah Perang Dunia II, politik Afrika Selatan didominasi oleh Partai Nasional yang memenangkan pemilu tahun 1948 dengan agenda utama memperkuat dominasi kulit putih.

Dalam konteks tersebut, lahirlah berbagai undang-undang apartheid, salah satunya adalah Group Areas Act. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan segregasi total antara komunitas rasial dengan dalih menciptakan “ketertiban sosial”.

Pemerintah berdalih bahwa pemisahan wilayah akan mencegah konflik antar kelompok, namun kenyataannya adalah bentuk kontrol sosial dan politik terhadap mayoritas non-kulit putih.

Group Areas Act memberi wewenang kepada Menteri Urusan Negara untuk menunjuk area sebagai wilayah eksklusif bagi satu kelompok rasial dan memaksa kelompok lain keluar dari wilayah tersebut.

Baca Juga  Pengertian dan Makna Malam Lailatul Qadar

Implementasi dan Dampak Sosial

Pasca disahkannya undang-undang ini, pemerintah segera melakukan penataan wilayah besar-besaran. Ribuan komunitas non-kulit putih dihancurkan, termasuk kawasan-kawasan terkenal seperti District Six di Cape Town dan Sophiatown di Johannesburg. Rumah-rumah diratakan, penduduk dipindahkan ke lokasi terpencil dengan fasilitas minim.

Dampaknya bukan hanya pada kehilangan tempat tinggal, tetapi juga pada kehancuran struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Anak-anak harus pindah sekolah, para pekerja kehilangan akses mudah ke tempat kerja, dan jaringan komunitas yang selama ini menjadi tulang punggung solidaritas sosial terputus.

Resistensi dan Penolakan

Group Areas Act tidak diterima begitu saja oleh masyarakat. Banyak kelompok masyarakat sipil, aktivis, dan organisasi politik yang menentangnya secara terbuka.

Kongres Nasional Afrika (ANC) menjadi salah satu organisasi utama yang menyuarakan penolakan terhadap sistem apartheid secara umum dan Group Areas Act secara khusus.

Bentuk resistensi mencakup protes damai, penolakan pindah, hingga pembangkangan sipil. Namun, pemerintah merespons dengan keras melalui penangkapan, pengusiran paksa, dan kekerasan.

Rezim apartheid terus memperketat kontrolnya sepanjang dekade 1950-an hingga 1980-an.

Reaksi Internasional

Penerapan Group Areas Act dan kebijakan apartheid secara keseluruhan mendapat kecaman dari dunia internasional.

Banyak negara mengecam tindakan diskriminatif ini sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengutuk apartheid dan menyerukan embargo terhadap Afrika Selatan.

Meski begitu, butuh waktu lama sebelum tekanan internasional benar-benar membuahkan hasil. Baru pada awal 1990-an, ketika tekanan global bersatu dengan gerakan internal yang semakin kuat, sistem apartheid mulai runtuh.

Akhir dari Group Areas Act

Group Areas Act secara resmi dicabut pada tahun 1991, sebagai bagian dari proses reformasi yang dilakukan oleh Presiden F.W. de Klerk.

Baca Juga  Penandatanganan SALT II: Momen Bersejarah antara Leonid Brezhnev dan Jimmy Carter pada 18 Juni 1979

Penghapusan undang-undang ini menandai babak baru dalam sejarah Afrika Selatan, di mana proses rekonsiliasi dan pembangunan bangsa dimulai.

Namun, jejak kebijakan ini masih terasa hingga hari ini. Ketimpangan spasial dan ekonomi yang diwariskan dari era apartheid masih menjadi tantangan besar.

Banyak wilayah pemukiman yang dulunya ditentukan berdasarkan ras kini masih mengalami keterbatasan akses terhadap layanan publik, pendidikan, dan peluang ekonomi.

Pelajaran dari Sejarah

Tanggal 13 Juni 1950 menjadi pengingat akan bahaya legislasi diskriminatif yang mengakar pada ideologi rasisme. Group Areas Act bukan sekadar undang-undang, tetapi simbol dari ketidakadilan sistemik yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dilawan.

Afrika Selatan menjadi contoh nyata bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat penindasan, sekaligus bagaimana kekuatan rakyat dan solidaritas internasional dapat mengubah arah sejarah.

Bagi dunia, peristiwa ini menyiratkan pentingnya kewaspadaan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi yang terselubung dalam bahasa hukum dan kebijakan publik.

Penerapan Group Areas Act pada 13 Juni 1950 menandai salah satu titik penting dalam sejarah apartheid di Afrika Selatan.

Undang-undang ini mengabadikan pemisahan rasial yang berdampak luas terhadap kehidupan jutaan orang. Meskipun telah dicabut, warisan sosial dan ekonominya masih terus terasa.

Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi bangsa mana pun agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Hukum seharusnya menjadi alat keadilan, bukan penindasan.

Oleh karena itu, pemahaman sejarah seperti ini perlu terus disuarakan agar nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tetap menjadi fondasi peradaban.

 

Lamar Sekarang

Pos terkait