Latar Belakang Referendum 23 Juni 2016
domestik.co.id – Tanggal 23 Juni 2016 tercatat sebagai salah satu peristiwa politik paling monumental dalam sejarah modern Eropa.
Pada hari itu, rakyat Inggris menggunakan hak pilih mereka dalam sebuah referendum nasional untuk menentukan apakah negara tersebut harus tetap menjadi bagian dari Uni Eropa atau keluar dari organisasi tersebut.
Keputusan yang kemudian dikenal dengan istilah “Brexit” (British Exit) menghasilkan pilihan untuk keluar dari Uni Eropa dengan persentase 51,9% suara mendukung “Leave” dan 48,1% memilih “Remain”.
Referendum ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Isu mengenai hubungan Inggris dan Uni Eropa telah menjadi perdebatan panjang dalam politik domestik Inggris, terutama dalam partai Konservatif yang berkuasa.
Tekanan dari kelompok Euroskeptik serta meningkatnya kekhawatiran publik terhadap imigrasi, regulasi ekonomi Uni Eropa, dan kedaulatan nasional mendorong Perdana Menteri saat itu, David Cameron, untuk menyelenggarakan referendum sebagai janji kampanye pada Pemilu 2015.
Alasan Utama Di Balik Keputusan Brexit
Referendum yang berlangsung pada 23 Juni 2016 dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan. Beberapa alasan utama yang dikemukakan oleh pendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa meliputi:
1. Kedaulatan Nasional
Banyak warga Inggris merasa bahwa terlalu banyak keputusan penting dibuat oleh birokrasi Uni Eropa di Brussel, tanpa kontrol langsung dari parlemen Inggris. Kelompok pendukung Brexit berargumen bahwa meninggalkan Uni Eropa akan mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada pemerintah Inggris.
2. Pengendalian Imigrasi
Isu imigrasi menjadi salah satu pendorong utama suara “Leave”. Sistem keanggotaan Uni Eropa mensyaratkan kebebasan bergerak bagi warganya di antara negara anggota. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah pekerja migran yang datang ke Inggris, memicu kekhawatiran akan persaingan kerja dan tekanan terhadap layanan publik.
3. Beban Ekonomi dan Regulasi
Para pendukung Brexit juga menyoroti kontribusi finansial Inggris kepada Uni Eropa yang dianggap terlalu besar. Selain itu, banyak pelaku usaha kecil menilai bahwa regulasi Uni Eropa terlalu kompleks dan membatasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Dampak Langsung Referendum
Keputusan untuk keluar dari Uni Eropa segera mengguncang pasar global. Nilai tukar poundsterling jatuh drastis, pasar saham mengalami ketidakpastian, dan Perdana Menteri David Cameron mengumumkan pengunduran dirinya keesokan harinya sebagai konsekuensi politik dari hasil referendum.
Di dalam negeri, Inggris mengalami perpecahan pendapat yang tajam. Mayoritas di Skotlandia dan Irlandia Utara memilih untuk tetap tinggal di Uni Eropa, sementara sebagian besar wilayah Inggris dan Wales memilih untuk keluar.
Hal ini kemudian memicu diskusi panjang mengenai masa depan kesatuan Kerajaan Inggris (United Kingdom).
Proses Keluar yang Berliku
Meskipun keputusan rakyat telah ditetapkan pada 2016, proses resmi keluarnya Inggris dari Uni Eropa memakan waktu yang tidak singkat.
Pasal 50 Traktat Lisbon yang mengatur proses pengunduran diri baru diaktifkan pada Maret 2017. Proses negosiasi yang kompleks antara Inggris dan Uni Eropa berlangsung selama beberapa tahun, penuh dengan ketegangan politik di dalam parlemen Inggris sendiri.
Beberapa perdana menteri silih berganti memimpin negosiasi, termasuk Theresa May yang kemudian digantikan oleh Boris Johnson.
Setelah melalui berbagai kesepakatan dan pemungutan suara di parlemen, Inggris secara resmi keluar dari Uni Eropa pada 31 Januari 2020, menandai berakhirnya keanggotaan selama hampir setengah abad.
Dampak Jangka Panjang Brexit
1. Ekonomi
Salah satu dampak paling nyata dari Brexit adalah pada sektor ekonomi. Meskipun Inggris dapat menandatangani perjanjian perdagangan bebas secara independen, perusahaan-perusahaan yang bergantung pada ekspor ke Uni Eropa mengalami hambatan baru berupa bea cukai dan peraturan teknis.
Sejumlah perusahaan multinasional juga memindahkan kantor pusat Eropa mereka dari London ke kota-kota di benua Eropa.
2. Politik
Secara politik, Brexit memperkuat gerakan kemerdekaan di Skotlandia dan memperumit situasi di Irlandia Utara. Kebutuhan akan perbatasan antara Irlandia Utara (bagian dari Inggris) dan Republik Irlandia (anggota Uni Eropa) menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya ketegangan lama di wilayah tersebut.
3. Identitas Nasional dan Sosial
Brexit juga mengubah dinamika identitas nasional di Inggris. Perdebatan selama kampanye referendum dan setelahnya memperlihatkan polarisasi antara generasi muda dan tua, antara penduduk kota dan pedesaan, serta antara kalangan berpendidikan tinggi dan rendah.
Pelajaran dari Referendum 2016
Referendum 23 Juni 2016 bukan hanya soal keanggotaan di Uni Eropa, tetapi juga cerminan dari ketidakpuasan sosial, ekonomi, dan politik yang meluas di kalangan warga Inggris. Proses panjang yang menyertainya mengungkapkan betapa kompleksnya dampak dari keputusan besar yang diambil melalui referendum.
Brexit menjadi contoh bagi negara lain bahwa kedaulatan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan hubungan internasional, perdagangan global, dan komitmen terhadap kesepakatan multinasional.
Keputusan Inggris pada 23 Juni 2016 untuk meninggalkan Uni Eropa tetap menjadi bahan diskusi dan kajian hingga hari ini.
Dampaknya tidak hanya terasa di dalam negeri, tetapi juga memengaruhi tatanan politik dan ekonomi internasional.
Meski telah resmi keluar, hubungan antara Inggris dan Uni Eropa akan terus mengalami dinamika dalam berbagai bidang seperti perdagangan, keamanan, dan diplomasi.
Peristiwa ini menjadi penanda penting bagi sejarah modern Eropa dan memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya stabilitas politik, partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, serta dampak jangka panjang dari kebijakan publik yang berskala besar.





